MAKLUMAT — Pada tanggal 25 November 2024, Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan diperingati di seluruh dunia. Meskipun rutin diperingati setiap tahun, baik melalui aksi demonstrasi langsung maupun kampanye di media sosial, berbagai kekerasan, terutama kekerasan seksual yang dialami perempuan masih terus terjadi. Mengapa demikian? Tulisan ini hendak menyoroti bentuk kekerasan yang sering kali tak kasat mata namun meluas dampaknya, yaitu seksisme. Secara sederhana, seksisme dapat dipahami sebagai diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang berakar pada stereotip gender. Seksisme seringkali menjadi faktor pendukung pelecehan seksual dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik yang kekerasan langsung maupun kekerasan verbal. Seksisme dan Praktik Kekerasan Seksual Seksisme mencakup segala bentuk perilaku, kepercayaan, atau struktur sosial yang merendahkan atau mendiskriminasi berdasarkan gender, terutama terhadap perempuan. Data yang dirilis oleh Pew Research Center pada tahun 2018 menunjukkan bahwa 42% perempuan pekerja di AS menghadapi diskriminasi berbasis gender di tempat kerja, termasuk pelecehan seksual. Data ini mencerminkan akar masalah yang lebih dalam, yaitu budaya yang menganggap normal perlakuan merendahkan terhadap perempuan, termasuk dalam bentuk humor seksis, pembagian peran stereotip, hingga eksploitasi seksual di media​ Menurut data dari National Sexual Violence Resource Center yang dirilis pada 2018, sebanyak 81% perempuan melaporkan pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Pelecehan seksual kerap berakar dari lingkungan yang permisif terhadap perilaku seksis. Sikap permisif ini biasanya tercermin dalam normalisasi tindakan seksis yang dianggap “wajar” atau tidak berbahaya. Lingkungan yang memaafkan komentar bernada seksual, candaan yang melecehkan, atau stereotip gender justru memberikan ruang bagi pelecehan seksual untuk terjadi. Di tempat kerja, sekolah, dan ruang publik, tindakan seksis sering dimulai dengan perilaku verbal yang tampaknya ringan, seperti komentar tentang penampilan atau tubuh seseorang. Namun, perilaku ini dapat berkembang menjadi bentuk pelecehan yang lebih serius, termasuk pelecehan fisik atau ancaman seksual. Berbagai riset menunjukkan bahwa normalisasi terhadap praktik seksisme menciptakan budaya yang membungkam korban dan melindungi pelaku. Berdasarkan laporan National Women’s Law Center pada 2018, disebutkan bahwa lingkungan kerja yang permisif terhadap pelecehan seksual tidak hanya berdampak pada korban secara langsung, tetapi juga pada produktivitas, kesehatan mental, dan rasa aman karyawan lainnya. Di sekolah, baik di tingkat dasar maupun di universitas, komentar seksis sering kali diabaikan dan dianggap sebagai candaan lumrah, di mana hal tersebut justru memperkuat sikap yang tidak menghargai kesetaraan gender. Jika berpatokan pada apa yang pernah penulis jumpai—sebagai salah seorang akademisi yang bekerja di institusi pendidikan tinggi—, penulis beberapa kali pernah mendengar komentar-komentar seksis yang ironisnya terlontar di forum akademis. Padahal, sebagai institusi pendidikan tinggi, universitas berkewajiban menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada mahasiswa agar mereka dapat menjadi agen perubahan di masyarakat. Seksisme, sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual, tentunya merupakan hal yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Apa yang perlu dilakukan guna mengatasi Seksisme? Mengatasi seksisme merupakan langkah mendasar untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Hal ini pada gilirannya akan dapat menciptakan kondisi yang aman dan nyaman bagi perempuan. Guna mengatasi seksisme, perlu adanya beberapa langkah tegas yang dapat difokuskan pada aspek politik dan pendidikan. Pada aspek politik, persoalan seksisme akan dapat teratasi jika negara mengadopsi kebijakan yang memperkuat perlindungan terhadap perempuan, termasuk undang-undang yang tegas terhadap pelecehan seksual. Di Indonesia, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan sejak 12 April 2022 harus diiringi dengan konsistensi penegakan hukum. Penegakan hukum yang konsisten akan dapat terealisasi jika pemerintah serius mengupayakan agar para penegak hukum dapat mempunyai sensitivitas gender dan empati terhadap korban. Mengingat selama ini tidak sedikit korban pelecehan seksual enggan melaporkan pelecehan karena takut akan stigma atau pengalaman buruk saat melapor. Dengan penegakan hukum yang adil, korban dapat merasa lebih percaya diri untuk mencari keadilan. Selain itu, pemerintah perlu membangun fasilitas dan layanan pendukung bagi korban kekerasan, seperti rumah aman, pusat konseling, dan layanan bantuan hukum gratis. Langkah ini tidak hanya memperkuat implementasi UU TPKS tetapi juga menciptakan ekosistem perlindungan yang lebih komprehensif, memperlihatkan komitmen negara dalam melindungi hak-hak perempuan dan mencegah kekerasan seksual secara efektif. Adapun pada aspek pendidikan, penghapusan terhadap seksisme dapat dilakukan dengan cara membangun kesadaran akan kesetaraan gender melalui pendidikan, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Pendidikan sejak dini memainkan peran vital dalam membangun kesadaran akan kesetaraan gender. Dalam lingkungan keluarga dan sekolah, anak-anak harus diajarkan nilai-nilai dasar seperti menghormati sesama tanpa membedakan gender.  Dalam lingkungan keluarga dan sekolah, anak-anak harus diajarkan nilai-nilai dasar yang membentuk karakter mereka sebagai individu yang menghargai sesama tanpa membedakan gender. Pendidikan kesetaraan gender sejak dini sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bebas dari diskriminasi. Ketika anak-anak diajarkan untuk menghormati satu sama lain, tanpa memperhatikan apakah mereka laki-laki atau perempuan, mereka akan tumbuh dengan pemahaman bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperlakukan secara adil. Praktik penghargaan terhadap kesetaraan gender dapat dilakukan melalui contoh konkret dari orang tua, guru, dan lingkungan sekitar. Dalam keluarga, orang tua memainkan peran utama dalam menanamkan nilai-nilai ini melalui tindakan dan komunikasi sehari-hari. Di sekolah, kurikulum yang mengintegrasikan kesetaraan gender, serta aktivitas yang mendorong kerja sama tanpa memandang jenis kelamin, sangat penting. Misalnya, menghindari stereotip gender dalam buku pelajaran atau permainan yang melibatkan kerja tim, sehingga anak-anak belajar bekerja sama sebagai kelompok tanpa melihat perbedaan gender. Hal ini pada gilirannya tidak hanya membantu mengurangi kekerasan berbasis gender, tetapi juga membentuk generasi yang lebih inklusif dan terbuka terhadap keberagaman. Seiring bertambahnya usia, mereka akan menjadi agen perubahan yang dapat mempengaruhi norma sosial dan kebijakan yang lebih progresif terkait kesetaraan gender. Penutup Seksisme, dengan demikian merupakan akar dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual. Upaya penghapusan seksisme, meskipun bukan hal yang mudah, akan dapat menciptakan dunia yang lebih aman dan setara bagi semua gender. Pada momentum Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, mari kita bersama-sama memulai langkah konkret dalam menghapus seksisme, yang dapat dimulai dari diri sendiri, keluarga, hingga lingkungan tempat kita beraktivitas sehari-hari. *) Penulis adalah Direktur RePort Institute dan Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

The post Penghapusan Seksisme untuk Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan appeared first on Maklumat untuk Umat.

By

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *